13 DESEMBER 2021

TREN MINUMAN BOBA, AMANKAH BAGI KESEHATAN?

Trend minuman boba (bubble tea) telah dikenal di seluruh lapisan masyarakat. Boba pertama kali muncul pada tahun 1980-an di Taiwan. Sekitar tahun tersebut, seorang karyawan di kedai teh ‘Chun Shui Tang’ yaitu ‘Lin Hsui Hui’ mencoba untuk mencampur bola tapioka (boba) dari sebuah makanan penutup/ dessert yang populer di Taiwan yaitu ‘Fen Yuan’ ke dalam segelas es teh susu. Tak disangka, konsumen menyukainya hingga akhirnya banyak gerai yang menjual minuman tersebut sampai menyebar ke seluruh dunia.

Teh susu boba biasanya terbuat dari bubuk minuman dengan varian rasa, bola tapioka (boba), sirup, gula dan susu kental manis. Minuman boba mengandung kadar gula dan kalori yang tinggi sehingga merupakan bagian dari kelompok minuman berpemanis atau sugar sweetened beverage (SSB) yang umumnya mengandung pemanis berupa high fructose corn syrup/ HFCS (55% fruktosa, 45% glukosa) atau sukrosa (50% fruktosa, 50% glukosa) [5].

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Safitri dkk. (2021) di Yogyakarta dengan 7 sampel boba milk tea berbeda merek, menunjukkan bahwa rata-rata kalori dari satu cup air boba ukuran 16 oz (473 ml) mencapai lebih dari 300 Kkal, kalori ini hampir setara dengan 2 porsi nasi (1 porsi nasi = 180 Kkal). Kalori minuman ini sebagian besar berasal dari sukrosa, yakni 77,44%.  Sedangkan pada studi lain yang dilakukan di Los Angeles menunjukkan bahwa kandungan gula pada 16 oz boba mencapai 38 gram [3]. Padahal, Kemenkes menganjurkan untuk membatasi konsumsi gula per harinya maksimal 10% dari total energi (200 kkal), atau setara dengan gula 4 sendok makan (50 gram/orang/hari) [2].

Konsumsi 1 cup boba biasa berukuran 16 oz yang diberi topping tambahan jelly atau egg pudding bisa mencapai 16% dari kebutuhan kalori harian, sedangkan ukuran cup large (32 oz) bisa mencapai 500 Kkal atau setara 25% kebutuhan kalori harian [3]. Konsumsi minuman ini bukannya memenuhi kebutuhan harian individu, melainkan menambah kalori harian sehingga memicu kenaikan berat badan yang berakibat pada obesitas. Hal ini karena kalori pada minuman berpemanis tidak bisa menggantikan kalori dari makanan [3].

Terdapat beragam studi yang menunjukkan hubungan konsumsi gula tambahan dari kelompok minuman berpemanis atau sugar sweetened beverage (SSB) dengan kejadian obesitas, diabetes mellitus tipe 2, penyakit metabolik, serta penyakit lain yang berhubungan dengan obesitas. Tingginya beban glikemik dari minuman berpemanis karena adanya fruktosa (yang berbentuk HFCS/ sukrosa), dapat meningkatkan risiko resistensi insulin, penimbunan lemak visceral, serta peningkatan trigliserida dan kolesterol. Studi juga menunjukkan bahwa konsumsi minuman berpemanis sebanyak 1 L selama 6 bulan bisa meningkatkan risiko sindrom metabolik dan perlemakan hati [1].

Meski begitu, terdapat alternatif yang lebih menyehatkan saat ingin mengonsumsi boba. Salah satu caranya dengan memesan takaran gula yang lebih sedikit (bisa setengah atau sepertiga takaran), dan apabila ingin tambahan topping selain boba maka pilihlah seperti coffee jelly, egg pudding, potongan buah, dsb. Alternatif ini mampu mengurangi kalori total dari minuman boba sehingga sesuai dengan anjuran dari Kemenkes untuk mengurangi konsumsi gula tambahan.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Bray, G. A., & Popkin, B. M. (2014). Dietary sugar and body weight: have we reached a crisis in the epidemic of obesity and diabetes?: health be damned! Pour on the sugar. Diabetes care, 37(4), 950-956.

  2. Kemenkes. (2018). Berapa anjuran konsumsi gula, garam, dan lemak per harinya?. Diakses dari http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/hipertensi-penyakit-jantung-dan-pembuluh-darah/page/31/berapa-anjuran-konsumsi-gula-garam-dan-lemak-per-harinya pada 28 Oktober 2021 pukul 22.10.

  3. Min, J. E., Green, D. B., & Kim, L. (2017). Calories and sugars in boba milk tea: implications for obesity risk in Asian Pacific Islanders. Food science & nutrition, 5(1), 38-45.

  4. Safitri, R. A., Sunarti, S., Parisudha, A., & Herliyanti, Y. (2021). Kandungan Gizi dalam Minuman Kekinian “Boba Milk Tea”. Gorontalo Journal of Public Health, 4(1), 55-61.

  5. Veronica, M. T., & Ilmi, I. M. B. (2020). Minuman kekinian di kalangan mahasiswa Depok dan Jakarta. Indonesian Journal of Health Development, 2(2), 83–91.

Hana Mutia Afifah, S.Gz SGz, MKes
Ahli Gizi Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang

13 DESEMBER 2021

TREN MINUMAN BOBA, AMANKAH BAGI KESEHATAN?

Trend minuman boba (bubble tea) telah dikenal di seluruh lapisan masyarakat. Boba pertama kali muncul pada tahun 1980-an di Taiwan. Sekitar tahun tersebut, seorang karyawan di kedai teh ‘Chun Shui Tang’ yaitu ‘Lin Hsui Hui’ mencoba untuk mencampur bola tapioka (boba) dari sebuah makanan penutup/ dessert yang populer di Taiwan yaitu ‘Fen Yuan’ ke dalam segelas es teh susu. Tak disangka, konsumen menyukainya hingga akhirnya banyak gerai yang menjual minuman tersebut sampai menyebar ke seluruh dunia.

Teh susu boba biasanya terbuat dari bubuk minuman dengan varian rasa, bola tapioka (boba), sirup, gula dan susu kental manis. Minuman boba mengandung kadar gula dan kalori yang tinggi sehingga merupakan bagian dari kelompok minuman berpemanis atau sugar sweetened beverage (SSB) yang umumnya mengandung pemanis berupa high fructose corn syrup/ HFCS (55% fruktosa, 45% glukosa) atau sukrosa (50% fruktosa, 50% glukosa) [5].

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Safitri dkk. (2021) di Yogyakarta dengan 7 sampel boba milk tea berbeda merek, menunjukkan bahwa rata-rata kalori dari satu cup air boba ukuran 16 oz (473 ml) mencapai lebih dari 300 Kkal, kalori ini hampir setara dengan 2 porsi nasi (1 porsi nasi = 180 Kkal). Kalori minuman ini sebagian besar berasal dari sukrosa, yakni 77,44%.  Sedangkan pada studi lain yang dilakukan di Los Angeles menunjukkan bahwa kandungan gula pada 16 oz boba mencapai 38 gram [3]. Padahal, Kemenkes menganjurkan untuk membatasi konsumsi gula per harinya maksimal 10% dari total energi (200 kkal), atau setara dengan gula 4 sendok makan (50 gram/orang/hari) [2].

Konsumsi 1 cup boba biasa berukuran 16 oz yang diberi topping tambahan jelly atau egg pudding bisa mencapai 16% dari kebutuhan kalori harian, sedangkan ukuran cup large (32 oz) bisa mencapai 500 Kkal atau setara 25% kebutuhan kalori harian [3]. Konsumsi minuman ini bukannya memenuhi kebutuhan harian individu, melainkan menambah kalori harian sehingga memicu kenaikan berat badan yang berakibat pada obesitas. Hal ini karena kalori pada minuman berpemanis tidak bisa menggantikan kalori dari makanan [3].

Terdapat beragam studi yang menunjukkan hubungan konsumsi gula tambahan dari kelompok minuman berpemanis atau sugar sweetened beverage (SSB) dengan kejadian obesitas, diabetes mellitus tipe 2, penyakit metabolik, serta penyakit lain yang berhubungan dengan obesitas. Tingginya beban glikemik dari minuman berpemanis karena adanya fruktosa (yang berbentuk HFCS/ sukrosa), dapat meningkatkan risiko resistensi insulin, penimbunan lemak visceral, serta peningkatan trigliserida dan kolesterol. Studi juga menunjukkan bahwa konsumsi minuman berpemanis sebanyak 1 L selama 6 bulan bisa meningkatkan risiko sindrom metabolik dan perlemakan hati [1].

Meski begitu, terdapat alternatif yang lebih menyehatkan saat ingin mengonsumsi boba. Salah satu caranya dengan memesan takaran gula yang lebih sedikit (bisa setengah atau sepertiga takaran), dan apabila ingin tambahan topping selain boba maka pilihlah seperti coffee jelly, egg pudding, potongan buah, dsb. Alternatif ini mampu mengurangi kalori total dari minuman boba sehingga sesuai dengan anjuran dari Kemenkes untuk mengurangi konsumsi gula tambahan.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Bray, G. A., & Popkin, B. M. (2014). Dietary sugar and body weight: have we reached a crisis in the epidemic of obesity and diabetes?: health be damned! Pour on the sugar. Diabetes care, 37(4), 950-956.

  2. Kemenkes. (2018). Berapa anjuran konsumsi gula, garam, dan lemak per harinya?. Diakses dari http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/hipertensi-penyakit-jantung-dan-pembuluh-darah/page/31/berapa-anjuran-konsumsi-gula-garam-dan-lemak-per-harinya pada 28 Oktober 2021 pukul 22.10.

  3. Min, J. E., Green, D. B., & Kim, L. (2017). Calories and sugars in boba milk tea: implications for obesity risk in Asian Pacific Islanders. Food science & nutrition, 5(1), 38-45.

  4. Safitri, R. A., Sunarti, S., Parisudha, A., & Herliyanti, Y. (2021). Kandungan Gizi dalam Minuman Kekinian “Boba Milk Tea”. Gorontalo Journal of Public Health, 4(1), 55-61.

  5. Veronica, M. T., & Ilmi, I. M. B. (2020). Minuman kekinian di kalangan mahasiswa Depok dan Jakarta. Indonesian Journal of Health Development, 2(2), 83–91.

Hana Mutia Afifah, S.Gz SGz, MKes
Ahli Gizi Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang

DPC PERSAGI KOTA MALANG

Jl. Sisingamangaraja 42 Malang 65123

Jawa Timur – Indonesia

KONTAK KAMI

Contact Person:

0812-3398-8703 (Dewi)

0877-5986-8348 (Annisa)

Email: 

dpcpersagikotamalang@gmail.com

KERJASAMA

HUBUNGI KAMI UNTUK KERJASAMA